Banda Aceh – Persoalan tambang ilegal di Aceh kembali menjadi perbincangan serius setelah rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) merekomendasikan penghentian seluruh aktivitas pertambangan tanpa izin. Isu ini dibahas dalam Dialog Banda Aceh Pagi, Kamis (2/10/2025), menghadirkan Saed Faisal, S.T., M.T., Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, dan Afifuddin Acal, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh.
Saed Faisal menegaskan, pemerintah provinsi mendukung penuh langkah DPRA. Ia menyebutkan bahwa aktivitas pertambangan ilegal merugikan negara sekaligus menimbulkan dampak lingkungan yang luas. “Kerusakan ekologis sudah terlihat jelas, terutama di daerah aliran sungai dan kawasan hutan. Pemerintah Aceh siap memperkuat pengawasan bersama aparat penegak hukum. Penertiban tidak boleh berhenti di level pekerja, tetapi harus menyasar aktor utama,” ujarnya.
Menurut Saed, pihaknya tengah menyiapkan strategi penertiban yang berkelanjutan, termasuk pencabutan izin perusahaan yang terbukti melanggar. Ia menekankan perlunya regulasi yang jelas agar aktivitas pertambangan tidak lagi berjalan di luar jalur hukum.
Sementara itu, Afifuddin Acal dari Walhi Aceh menyoroti dampak sosial dan ekologis tambang ilegal. Berdasarkan pemantauan Walhi, hampir separuh kegiatan pertambangan tanpa izin berada di kawasan hutan lindung.
“Tambang ilegal bukan hanya soal kehilangan penerimaan negara, tetapi juga ancaman bagi masyarakat lokal. Air sungai tercemar merkuri, pertanian terganggu, dan ruang hidup warga semakin menyempit. Yang ironis, justru pekerja kecil yang ditangkap, sementara pemodal besar masih bebas,” katanya.
Afifuddin juga menyinggung temuan Pansus DPRA terkait aliran dana dari tambang ilegal yang mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahun. Ia menilai, kondisi ini menunjukkan adanya jaringan terstruktur yang harus diusut hingga tuntas.
“Kalau hanya pekerja lapangan yang ditindak, masalah tidak akan pernah selesai. Harus ada keberanian menyentuh aktor besar yang mengendalikan,” tegasnya.
Dialog ini menegaskan, baik pemerintah maupun organisasi lingkungan hidup sepakat bahwa tambang ilegal memberi kerugian besar bagi Aceh. Momentum rapat paripurna DPRA dianggap menjadi titik balik untuk menata ulang tata kelola sumber daya alam agar lebih transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Sumber : https://rri.co.id/aceh/berita-terkini