ACEH UTARA- Perubahan iklim semakin mengancam ketahanan pangan nasional, terutama di sektor budidaya padi sawah yang sangat bergantung pada kestabilan iklim. Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Malikussaleh mengungkapkan peran krusial penyuluh pertanian dalam mentransfer inovasi teknologi adaptif kepada petani padi sawah di Kabupaten Aceh Utara.
Perubahan iklim yang semakin nyata telah membawa dampak signifikan terhadap sektor pertanian di Kabupaten Aceh Utara, khususnya di Kecamatan Kuta Makmur dan Banda Baro. Petani tanaman pangan di kedua wilayah ini menghadapi tantangan yang kompleks yang secara langsung memengaruhi produktivitas dan ketahanan usaha tani mereka. Berdasarkan hasil kajian lapangan, wawancara dengan kelompok tani, serta data penyuluhan pertanian, teridentifikasi enam kendala utama yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.
Kendala pertama adalah ketidakpastian musim tanam dan curah hujan. Petani di Kuta Makmur melaporkan bahwa pola hujan yang tidak menentu menyulitkan mereka dalam menentukan waktu tanam yang ideal. Sementara itu, di Banda Baro, fenomena kekeringan berkepanjangan dan hujan ekstrem dalam waktu singkat telah menyebabkan kerusakan pada tanaman muda dan bahkan gagal panen. Kalender tanam tradisional berbasis kearifan lokal seperti “keuneunong” pun mulai kehilangan akurasi akibat anomali iklim yang terus berlangsung Ungkap Mukliza Penyuluh pertanian dari BPP Kecamatan Banda Baro.
Krisis air irigasi menjadi kendala kedua yang sangat dirasakan petani. Sistem irigasi Krueng Pase, yang menjadi sumber utama air pertanian, belum berfungsi optimal, terutama di wilayah hilir Banda Baro.
Di Kuta Makmur, saluran tersier mengalami sedimentasi dan kebocoran, memperparah kekurangan air saat musim kemarau. Akibatnya, banyak petani terpaksa bergantung pada tadah hujan, yang tidak dapat menjamin keberlangsungan budidaya padi dan palawija secara konsisten.
Kendala ketiga adalah meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman. Perubahan suhu dan kelembaban mempercepat siklus hidup hama seperti wereng coklat dan penggerek batang. Di Banda Baro, petani melaporkan peningkatan kasus penyakit tanaman seperti blast dan hawar daun bakteri, terutama saat transisi musim. Meskipun penggunaan pestisida meningkat, efektivitasnya menurun karena resistensi hama yang semakin berkembang ungkap Mukliza Penyuluh Pertanian
Keterbatasan akses terhadap teknologi adaptif juga menjadi tantangan serius. Varietas benih tahan kekeringan dan genangan belum tersedia secara merata di kedua kecamatan. Petani di Kuta Makmur masih menggunakan varietas lokal yang rentan terhadap stres iklim. Minimnya pelatihan dan demonstrasi plot membuat adopsi teknologi seperti jajar legowo, Tabela (tanam benih langsung), pemupukan berimbang, dan pengelolaan air terpadu belum maksimal.
Rendahnya literasi iklim dan informasi cuaca turut memperburuk situasi. Sebagian besar petani belum memahami konsep iklim mikro dan prediksi cuaca berbasis teknologi. Informasi dari BMKG belum tersampaikan secara efektif ke tingkat kelompok tani. Di Banda Baro, petani masih mengandalkan pengalaman masa lalu yang kini tidak lagi relevan dengan kondisi iklim saat ini.
Terakhir, keterbatasan modal dan dukungan kelembagaan menjadi penghambat utama dalam upaya adaptasi. Fluktuasi hasil panen akibat iklim menyebabkan ketidakstabilan pendapatan petani. Akses terhadap kredit usaha tani dan asuransi pertanian masih rendah, terutama di kalangan petani kecil. Kelembagaan tani belum cukup kuat untuk melakukan advokasi dan mitigasi risiko iklim secara kolektif.
Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Setia Budi bersama Nopri Yanto dan Dr. Eva Wardah ini menyoroti bagaimana penyuluh pertanian berfungsi sebagai agen perubahan dalam menghadapi tantangan iklim yang semakin kompleks. Studi ini dilaksanakan sejak Juli hingga September 2025, melibatkan dua kecamatan utama—Kuta Makmur dan Banda Baro dengan melibatkan 80 responden (penyuluh dan dari anggota kelompok tani local).
Hasil survei menunjukkan bahwa petani menghadapi berbagai kendala dalam menerapkan inovasi budidaya padi sawah yang tangguh terhadap perubahan iklim. Tiga hambatan utama yang paling dirasakan secara berurutan adalah: (1) Keterbatasan akses terhadap benih unggul adaptif (86,56%) (2) Ketersediaan air irigasi yang tidak stabil (80,63%) dan (3) Rendahnya literasi iklim di kalangan petani (78,24%)
Kondisi ini diperparah oleh belum optimalnya sistem irigasi utama Krueng Pase, yang berdampak langsung pada distribusi air ke lahan pertanian. Selain itu, serangan hama dan penyakit yang meningkat akibat fluktuasi iklim juga menjadi tantangan serius. Bahkan di kecamatan Banda Baro mayoritas lahan padi sawah tampa jaringan irigasi sehingga pola tanam sangat tergantung dari curah hujan. Berbagai upaya telah dilakukan penyuluh dan pihak terkait dalam usaha diantaranya dengan pogram pompanisasi dan penyedian sumur bor namun ini hanya solusi jangka pendek ungkap Mizan salah seorang penyuluh pertanian.
Penelitian ini juga mengukur efektivitas peran penyuluh pertanian melalui empat indikator utama: fasilitator, inovator, motivator, dan edukator. Hasilnya menunjukkan bahwa penyuluh dinilai “berperan” dengan indeks rata-rata 69,71%. Peran sebagai inovator menempati posisi tertinggi (78,63%), diikuti oleh edukator (75,08%), fasilitator (70,36%), dan motivator (54,76%).
Penyuluh tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mendampingi petani dalam menerapkan teknologi adaptif seperti varietas padi tahan kekeringan, sistem tanam jajar legowo, dan pemupukan berimbang,” ujar Dr. Setia Budi.
Salah satu temuan menarik dari studi ini adalah efektivitas pendekatan penyuluhan berbasis komunitas dan partisipatif. Penyesuaian kalender tanam berdasarkan kearifan lokal seperti “keuneunong” (perhitungan curah hujan tradisional) terbukti membantu petani dalam mengantisipasi perubahan pola cuaca. “Integrasi antara pengetahuan lokal dan teknologi modern menjadi kunci dalam membangun ketahanan iklim di tingkat petani,” tambah Nopri Yanto.
Tim peneliti merekomendasikan agar pemerintah daerah dan pusat memperkuat kapasitas penyuluh pertanian melalui pelatihan berkelanjutan, dukungan kebijakan, dan kolaborasi lintas sektor. Selain itu, penyediaan benih unggul adaptif dan perbaikan sistem irigasi harus menjadi prioritas dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Penyuluh harus diberdayakan tidak hanya sebagai inovator dan fasilitator, tetapi juga sebagai motivator yang mampu membangun kesadaran kolektif petani,” tegas Dr. Eva Wardah. Penelitian ini menegaskan bahwa penyuluh pertanian adalah pilar utama dalam membangun ketahanan pangan di tengah krisis iklim. Dengan pendekatan yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis kebutuhan nyata petani, penyuluh mampu menjembatani inovasi teknologi dengan kebutuhan nyata petani di lapangan.(Muchlis)


